TUGAS KONSTITUSI


SISTEM KETATANEGARAAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945

   1.       PENDAHULUAN
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Amandemen diambil dari bahasa Inggris yaitu "amendment". Amends artinya merubah, biasanya untuk masalah hukum. The law has been amended (undang-undang itu telah di amandemen). Bangsa Indonesia sebenarnya telah memiliki konstitusi sejak pra kemerdekaan, yaitu pada masa pendudukan tentara Jepang. Konstitusi yang pertama adalah Hukum Dasar yang disahkan oleh BPUPKI. Kemudian pada 18 Agustus 1945 satu hari setelah pernyataan kemerdekaan, PPKI membentuk Undang-Undang Dasar, yang diberi nama Undang-undang Dasar Republik Indonesia (kemudian dikenal dengan sebutan UUD 1945). Pada tahun 1949, UUD 1945 diganti dengan Konstitusi RIS, dan satu tahun kemudian diganti dengan UUD Sementara 1950. Beberapa tahun kemudian UUDS itu diganti dengan UUD 1945 melalui keputusan presiden yang dikenal dengan Dekret Presiden 5 Juli 1959. Dengan demikian, konstitusi Indonesia yang berlaku hingga sekarang ini adalah UUD 1945 atau dapat juga disebut “UUD Dekret 1959”. Konstitusi inilah yang mengalami amandemen.
Amandemen UUD 1945 sebagai amanat reformasi pada akhirnya dapat dituntaskan dalam Perubahan keempat dengan nama resmi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Perubahan empat kali UUD 1945 itu dapat diperinci sebagai berikut.
1.       Perubahan pertama UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 19 Oktober tahun 1999, berhasil diamandemen sebanyak 9 pasal.
2.       Perubahan kedua UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000 telah diamandemen sebanyak 25 pasal.
3.       Perubahan ketiga UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9 November tahun 1999 berhasil diamandemen sebanyak 23 pasal.
4.       Perubahan keempat UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002 ini telah berhasil diamandemen 13 pasal serta 3 pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan.
Jadi jumlah total pasal UUD 1945 hasil perubahan pertama sampai keempat itu adalah 75 pasal, namun demikian jumlah nomor pasalnya tetap sama yaitu 37 (tidak termasuk Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan). Hal ini karna penulisan nomor pasal itu dilakukan dengan menambah huruf (A, B, C, dan seterusnya) setelah nomor angkanya. Kondisi semacam inilah yang menjadikan sistematika amandemen UUD 1945 tidak teratur. Dari jumlah 75 pasal yang berhasil diamandemen tersebut ternyata hanya satu pasal yang diputuskan melalui mekanisme pengambilan suara secara voting yaitu pasal 2 Ayat (1), selebihnya diputuskan secara mufakat.

   2.       POKOK-POKOK KETENTUAN HUKUM HASIL AMANDEMEN
Apabila dilihat dari segi substansi materinya secara keseluruhan, maka perubahan UUD 1945 ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga macam, yaitu:
1)      penghapusan atau pencabutan beberapa ketentuan;
2)      menambah ketentuan atau lembaga baru; dan
3)      modifikasi terhadap ketentuan atau lembaga lama.

a.       Ketentuan yang Dicabut
Beberapa ketentuan hukum yang dicabut oleh perubahan UUD 1945 antara lain:
(1)    Kekuasaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan meminta pertanggungjawaban presiden dan penyusunan Garis Besar Haluan Indonesia. Dengan pencabutan kekuasaan ini posisi MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara, tetapi sebagai lembaga tinggi negara yang kedudukannya sejajar dengan lembaga tinggi lainnya seperti Presiden, Mahkamah Agung, dan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2)    Kekuasaan Presiden yang menyangkut pembentukan Undang-undang. Kekuasaan pembentukan undang-undang ini berdasarkan Pasal 20 perubahan pertama UUD 1945, tidak lagi dipegang presiden, melainkan dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian juga kewenangan presiden dalam hal pengangkatan dan penerimaan duta negara lain serta pemberian amnesti dan abolisi. Kewenangan-kewenangan tersebut tidak lagi merupakan hak prerogratif presiden, tetapi harus atas pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3)    Penjelasan UUD 1945. Sebenarnya secara eksplisit tidak ada ketentuan yang mengatur tentang keberlakuan penjelasan dalam pasal-pasal UUD 1945. Namun secara de facto penjelasan itu sudah ada setelah enam bulan pengesahan Undang-undang Dasar tersebut oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 dan secara resmi dicantumkan dalam lampiran Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945. Oleh karena itu, pasal yang meniadakan penjelasan itu juga tidak secara langsung menyebutkan bahwa penjelasan dicabut.

b.       Ketentuan dan Lembaga Baru
Ketentuan dan lembaga baru yang diatur dalam perubahan UUD 1945, dapat disebut di sini antara lain:
(1)    Dewan Perwakilan Daerah (DPD), diatur dalam Pasal 22C dan 22D UUD 1945 perubahan ketiga.
(2)    Mahkamah Konstitusi, diatur dalam pasal 24C UUD 1945 perubahan ketiga.
(3)    Komisi Yudisial, diatur dalam Pasal 24B UUD 1945 perubahan ketiga.
(4)    Komisi pemilihan umum sebagai penyelenggara pemilihan umum diatur langsung dalam bab baru (VIIB) UUD 1945 Pasal 22E, sebelumnya diatur dalam Undang-Undang.
(5)    Bank Sentral yang sebelumnya hanya diatur dalam undang-undang, sekarang diatur dalam Pasal 23D UUD 1945 perubahan keempat.

c.       Ketentuan dan Lembaga yang Dimodifikasi
Ketentuan-ketentuan yang merupakan modifikasi atas ketentuan atau lembaga lama yang diatur dalam perubahan UUD 1945, dapat disebut di sini antara lain:
(1)    Reposisi MPR yang merupakan modifikasi dari MPR lama, diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUD 1945 perubahan keempat. Mengenai reposisi majelis ini akan diuraikan di bawah.
(2)    Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat, yang sebelumnya dipilih oleh MPR, diatur dalam pasal 6A UUD 1945 perubahan ketiga.
(3)    Pemilihan kepala pemerintahan Daerah secara demokratis, yang sebelumnya diusulkan oleh DPRD kepada presiden.
(4)    Ketentuan Hak Asasi Manusia sebagai penambahan dari ketentuan hak asasi lama, diatur dalam pasal 28A sampai dengan 28J UUD 1945 perubahan kedua.
(5)    Usul Perubahan Undang-undang Dasar dan pembatasan perubahan atas negara kesatuan, merupakan penambahan tata cara perubahan Undang-undang Dasar, diatur dalam ayat (1) dan (5) Pasal 37 UUD 1945 perubahan keempat.

  3.       TINJAUAN BEBERAPA KETENTUAN HUKUM BARU DALAM UUD 1945 SETELAH  DIAMANDEMEN
Dengan adanya ketentuan-ketentuan baru seperti disebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia telah melakukan suatu perubahan yang fundamental, suatu terobosan baru di bidang ketatanegaraan menuju kepada suatu negara yang demokratis. Untuk lebih mengetahui bagaimana isi ketentuan-ketentuan tersebut, secara singkat akan dilakukan tinjauan terhadapnya. Mengingat banyaknya materi yang diatur dalam ketentuan-ketentuan di atas, maka dalam tinjauan ini hanya dibatasi pada beberapa hal saja yang saya anggap penting antara lain: reposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat; kekuasaan membentuk undang-undang yang merupakan representatif kekuasaan legislatif; kekuasaan presiden yang menjalankan kekuasaan eksekutif; serta kekuasaan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial yang melaksanakan kekuasaan yudikatif.

a.       Reposisi MPR
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia dalam sidang tahunan 2002 telah melakukan langkah bijak dengan mengubah posisinya yang semula sebagai lembaga tertinggi negara dan pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat, menjadi lembaga tinggi biasa. Anggota MPR terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilu. Anggota Dewan Perwakilan Daerah ini dapat dipandang sebagai pengganti ‘’Utusan Daerah” yang dikenal dalam naskah asli UUD 1945 selain utusan golongan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang minimal satu kali dalam lima tahun. Kewenangan MPR mencangkup:
(1)    mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar,
(2)    melantik presiden dan/atau wakil presiden,
(3)    memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar,
(4)    memilih presiden dan wakil presiden pengganti “ditengah jalan”.

Kewenangan MPR tersebuut sekilas nampak tidak ada perbedaan dengan kewenangan yang dimilikinya menurut naskah asli UUD 1945, namun jika dilihat dari sisi perbandingan antara rumusan Pasal 1 ayat (2) naskah asli dan naskah baru UUD 1945 perubahan ketiga, maka akan jelas ditemukan bahwa telah terjadi pengurangan kekuasaan MPR, yaitu yang semula berdasarkan naskah asli adalah sebagai pelaksana pemegang kedaulatan rakyat sepenuhnya, maka setelah amandemen ketiga, tidak lagi sebagai pelaksana pemegang kedaulatan rakyat sepenuhnya. Pengurangan kewenangan majelis oleh dirinya sendiri ini membantah pihak yang ragu jika perubahan Undang-Undang Dasar diserahkan oleh parlemen (majelis) seperti telah disinggung di atas. Kemudian, untuk memberhentikan presiden dan atau wakil presiden, MPR tidak bisa lagi bertindak sendiri seperti yang pernah terjadi dalam kasus pemberhentian Presiden Soekarno tahun 1965 dan Presiden Abdurrahman Wahid taun 2001, tetapi harus melibatkan lembaga baru yang bernama Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi inilah yang akan menentukan apakah Presiden dan/atau wakil presiden benar-benar telah melanggar hukum atau tidak. Dengan ketentuan demikian, posisi presiden menjadi semakin kuat, karena interpretasi atau penafsiran atau penentuan apakah presiden dan/atau wakil presiden melanggar hukum, akan tergantung kepada keputusan Mahkamah Konstitusi dengan jumlah anggota 9 orang, yang tiga orang diantaranya diajukan oleh presiden.
Jika oleh Mahkamah Konstitusi, presiden dan/atau wakil presiden diputuskan tidak melakukan pelanggaran hukum yang dituduhkan itu, maka MPR tiak berwenang memberhentikan yang bersangkutan. Dengan meninjau posisi dan kewenangan MPR seperti dirumuskan diatas, dapat dikatakan bahwa kekuasaan MPR telah banyak berkurang.
Persoalan yang dapat muncul di kemudian hari adalah apabila misalnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan presiden dan atau wakil presiden melanggar hukum, namun MPR ternyata tidak memberhentikan presiden dan/ayau wakil presiden. Kasus demikian kemungkinan bisa saja terjadi mengingat MPR adalah lembaga politik, dan dalam pengambilan keputusan dapat berdasarkan suara terbanyak, bukan berdasarkan objektivitas hukum. Sebagai perbandingan dapat dilihat pada kasus “Monica Lewinsky”, yang berlanjut dengan proses impeachment terhadap Presiden Amerika Bill Clinton. “Peradilan impeachment” yang dilakukan oleh Kongres akhirnya membebaskan Clinton karena suara yang dibutukan (yaitu 2/3 dari anggota kongres) untuk menyatakan Clinton bersalah tidak terpenuhi.
b.       Kekuasaan Membentuk Undang-Undang
Seperti telah disinggung di atas, UUD 1945 perubahan pertama menentukan, Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-undang. Sebelumnya menurut naskah asli Undang-Undang Dasar itu, kewenangan ini dipegang oleh presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, telah terjadi pergeseran kewenangan legislasi dari presiden dengan persetujuan DPR kepada DPR. Selain memiliki fungsi legislasi, DPR juga memiliki fungsi anggaran dan pengawasan. Sementara Presiden diberi kewenangan mengajukan rancangan Undang-undang. Setiap Rancangan Undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
Rancangan Undang-undang yang telah disetujui oleh DPR dan Presiden untuk menjadi Undang-undang tidak lagi bersifat final tetapi dapat diuji material oleh MK atas permintaan pihak tertentu. Dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 perubahan ketiga antara lain disebutkan, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat tetap untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar. Mahkamah Konstitusi ini harus sudah dibentuk pada tanggal 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangan dilakukan oleh Mahkamah Agung (aturan peralihan Pasal III).
Dengan ketentuan-ketentuan baru yang mengatur kekuasaan membentuk Undang-undang diatas, maka yang perlu digaris bawahi disini adalah suatu kenyataan bahwa pengesahan Rancangan Undang-undang menjadi Undang-undang merupakan sesuatu yang telah final. Undang-undang tersebut masih dapat dipersoalkan oleh masyarakat yang merasa akan dirugikan jika Undang-undang itu jadi dilaksanakan, atau oleh segolongan masyarakat dinilai bahwa Undang-undang itu bertentangan dengan norma hukum yang ada diatasnya (UUD).
c.       Kekuasaan Presiden
Sebagaimana telah disebutkan diatas, kekuasaan presiden oleh Amandemen UUD 1945 banyak dikurangi. Sebagai contoh dapat disebutkan disini antara lain:
(1)    Hakim agung tidak lagi diangkat oleh presiden melainkan diajukan oleh komisi yudisial untuk diminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat selanjutnya ditetapkan oleh presiden.
(2)    Demikian juga anggota Badan Pemeriksaan Keuangan tidak lagi diangkat oleh presiden tetapi dipilih oleh DPR dengan memperhatikan DPD dan diresmikan oleh presiden.
(3)    Keterlibatan DPR dalam proses pengangkatan Panglima Tentara Nasional dan kepala Polisi Republik Indonesia. Keterlibatan DPR dalam hal pengangkatan pejabat-pejabat tersebut mencerminkan suatu mekanisme ketatanegaraan yang mengarah kepada keseimbangan dan demokratisasi.
(4)    Rancangan Undang-undang yang telah dibahas dan disetujui bersama antara DPR dan Presiden apabila dalam waktu 40 hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Jadi persetujuan atau pengesahan atas RUU menjadi UU oleh Presiden tidak mutlak.

Namun demikian, di sisi lain posisi presiden semakin kuat karena ia tidak akan mudah dijatuhkan (diberhentikan) oleh MPR, meskipun ia berada dalam kondisi berbeda pandangan dalam penyelenggaraan pemerintahannya dengan “parlemen” (Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Daerah). Selama presiden tidak diputus telah melanggar hukum oleh Mahkamah Konstitusi, maka posisi presiden akan aman. Selain itu, presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR karena presiden dipilih langsung oleh rakyat. Sungguhpun posisi presiden sulit dijatuhkan, namun untuk posisi pembantunya (menteri-menteri) akan mudah “diganggu” apabila presiden hanya didukung oleh minoritas parpol (fraksi) di parlemen. Memang MPR masih dapat menghentikan presiden dan wakil presiden dalam masa jabatannya atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 7A). Namun, hal ini akan sangat tergantung kepada keputusan Mahkamah Konstitusi, karena menurut pasal 7B-nya, usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum ini berupa : (1) Pengkhianatan terhadap negara, (2) korupsi, penyuapan, (3) tindak pidana berat lainnya, atau (4) perbuatan tercela, dan/atau (5) pendapat bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Jadi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut semata-mata atas dasar pertimbangan hukum.
MPR juga dapat memilih presiden dan wakil presiden pengganti  apabila terdapat kekosongan jabatan presiden dan wakil presiden di tengah masa jabatannya secara bersamaan (Pasal 8 ayat 3). Persoalannya disini adalah pertanggungjawaban presiden dan wakil presiden pengganti yang dipilih oleh Majelis Permusyawaratan tersebut. Apakah ia akan bertanggungjawab kepada rakyat atau kepada MPR yang telah memilih dan mengangkatnya. Ketentuan ayat (3) ini menurut Ismail Suny, menunjukan bahwa MPR tidak konsisten dengan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Sebaiknya dalam hal ini perlu dikaitkan dengan sisa masa jabatan presiden dan/atau wakil presiden itu. Misalnya, majelis boleh memilih presiden dan/atau wakil presiden pengganti apabila sisa masa jabatan tersebut tinggal 12 bulan atau kurang. Jadi apabila sisa masa jabatan itu masih lama, lebih dari 12 bulan, maka sebaiknya pemilihan presiden dan/atau wakil presiden pengganti itu diserahkan kembali kepada rakyat. Dengan demikian kewenangan MPR memilih presiden dan/atau wakil presiden pengganti itu hanya bersifat sementara dan semata-mata karena pertimbangan teknis.

d.       Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman menurut naskah asli UUD 1945 dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Badan Kehakiman. Setelah amandemen, kekuasaan kehakiman ini dilakukan, selain yang disebutkan di atas, juga dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
            Dengan amandemen UUD 1945, posisi hakim agung menjadi kuat karena mekanisme pengangkatan hakim agung diatur sedemikian rupa dengan melibatkan tiga lembaga, yaitu: (1) Dewan Perwakilan Rakyat, (2) Presiden, dan (3) Komisi Yudisial. Komisi Yudisial ini merupakan lembaga baru yang memang sengaja dibentuk untuk menangani urusan yang terkait dengan pengangkatan hakim agung serta menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Anggota Komisi Yudisial ini diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan pesetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

   4.       PENUTUP
            Berdasarkan uraian di atas secara umum dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 dan Perubahan-perubahannya itu telah mengatur mekanisme penyelenggaraan ketatanegaraan, yang terkait dengan hubungan antar kekuasaan lembaga ekskutif, legislatif, yudikatif secara berimbang. Atau dengan kata lain terdapat hubungan checks and balances antar ketiga lembaga tersebut. Semangat untuk selalu melibatkan kedaulatan rakyat melalui lembaga perwakilan rakyat tampak dominan. Setiap pengangkatan pejabat negara seperti Hakim Agung, Hakim Mahkamah Konstitusi, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Polisi Republik Indonesia, anggota Komisi Yudisial, anggota Badan Pemeriksaan Keuangan, dan Gubernur Bank, selalu melibatkan peran Dewan Perwakilan Rakyat. Kondisi demikian sejalan dengan prinsip-prinsip negara demokrasi. Jadi dilihat dari segi konstitusi, Indonesia adalah negara demokratis. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika pada 2003 Indonesia diusulkan oleh Perdana Menteri Australia John Howard untuk menempati posisi sebagai anggota tetap lapisan kedua Dewan Keamanan PBB dan juga diusulkan oleh Jepang, sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB.












DAFTAR PUSTAKA


Mulyadi Dedi. 2014. Internalisasi Nilai-Nilai ideologi  Pancasila dalam Dinamika Demokrasi dan Perkembangan Ketatanegaraan Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama.
Syahuri Taufiqurrohman. 2011. Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum. Jakarta: Kencana.

You Might Also Like

3 komentar

  1. Terima Kasih atas artikel anda yang sangat bermanfaat, maaf sebelumnya saya ingin menanyakan kepada penulis berkaitan pada tulisan diatas yang menjelaskan bahwa bangsa Indonesia telah melakukan suatu perubahan yang fundamental, suatu terobosan baru di bidang ketatanegaraan menuju kepada suatu negara yang demokratis. Yang ingin saya tanyakan bentuk perubahan yang seperti apakah yang anda maksud di dalam tulisan ini dan bagaimana aplikasi dari suatu negara yang demokratis di Indonesia? Terima Kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sebelumnya karena telah berkunjung dan memberikan komentar di tulisan saya. Terkait dengan apa yang anda tanyakan tentang perubahan yang fundamental dibidang ketatanegaraan menuju suatu negara yang demokratis itu dapat di liat dari praktek pemilihan umum yang dimana legislatif ataupum yudikatif itu dipilih secara langsung oleh rakyat yang dimana sebelumnya itu merupakan wewenang dari para elite politik saja untuk menentukan suatu posisi tertentu di pemerintahan tanpa adanya campur tangan rakyat.

      Hapus
  2. Terimakasih kepada penulis karna tulisan ini sangatlah memberi informasi khusunya tentamg ketatanegaraan pasca amandemen UUD 1945 namun alangkah baikny di tambahkan dampak dari perubahan amandemen itu sendiri dan di berikan pemahaman tentang checks and balances dalam tulisan ini.

    BalasHapus